Sebuah catatan akan saya kemukakan untuk film film Islami di layar lebar maupun layar kaca. Tapi sebelumnya saya mohon maaf apa bila bersifat spekulatif, karena saya bukan insan perfilman.
Sebuah bukti baru bahwa seni Islam mempunyai daya jual yang tinggi. Seni grafis, sastra, film hingga seni arsitektur. Hal itu semakin kentara dari fenomena perbincangan untuk flm Ayat Ayat Cinta (AAC) yang nge-boom habis. Hal itu bukan hanya karena diambil dari Novel ayat ayat cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang fenomenal, akan tetapi lebih dari itu, apresiasi kebosanan dan kelelahan. Yakni kebosanan pada pribadi masyarakat pada porsi seni yang mengeksploitasi aurat, sex dan pornografi. Masyarakat semakin dewasa dalam mensikapi arus demoralisasi yang begitu kuat lewat art sense, sehingga meluapkan kegembiraan besar mereka lewat menyambut dengan hingar bingar film semisal ayat ayat cinta. Pada pertengahan 1970-an, film Islami yang berjudul Kautsar mampu menduduki box office dimana pada masa itu dunia perfilman Indonesia sedang dipenuhi eksploitasi sex dalam adegan adegannya. Chaerul umam, sang sutradara film tersebut menuturkan bahwa ia meyakini bahwa apapun yang berbau Islam pasti laku. Hal itu ia yakini sejak dulu, dan terbukti pada akhir akhir ini, semakin maraknya buku buku Islami, sinetron Islami, hingga aliran sesat yang mengaku Islami. Coba bayangkan Al Qiyadah tanpa Islamiyah, pasti tak laku, tambahnya. Hanya saja, bisnisman muslim dan insan perfilman dan praktisi seni Islam belum terlalu paham dalam menempuh manajemen yang baik dalam pemasaran sehingga masih sedikit malu malu.
Menilik fenomena film islami, masih menurut Chaerul Umam, bahwa film Islami adalah film yang mana pengadegannya juga Islami, bukan hanya solusi dan konflik saja. Bagaimana mensimulasi adegan suami istri yang sebenarnya bukan suami istri, bagaimana memilih adegan yang kelihatan menarik, harmonis tanpa bersentuhan tangan. Jadi, bukan hanya judul dan sekenario, tapi akidah dalam tiap adegan juga Islami. Tak kalah penting dari itu semua, para aktor. Aktor film Islami juga dikenal publik sebagai orang muslim, jadi tidak munafik. Di depan kamera ia muslim taat, tapi di balik layar, ia nakal. Bias bias ini dibilang kebohongan publik.
Jadi, saya pribadi belum menganggap film itu Islami apabila masih ada aktor atau adegan yang nggak Islami sama sekali. Okelah dilayar Islami, tapi dibalik layar harus tetap dikritisi. Islami lahir batin, kalau tidak, lebih baik film sekuler yang membawa pesan moral yang baik dari pada film ‘seperti’ Islami.
0 comments:
Post a Comment